Trauma Wadas dan Dalih Pembangunan

Kerisjambi.id
Editor -
Foto : Fuji Ardi Kartono

Oleh : 

Fuji Ardi Kartono (Pegiat Lingkungan)

Belum habis pembahasan tentang IKN (Ibu Kota Negara) beberapa waktu terakhir, nama Presiden Jokowi ikut terjaring dalam kasus Desa wadas Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Hal bukan tanpa sebab sejak tahun 2016, masyarakat Desa Wadas telah melakukan aksi penolakan terhadap salah satu proyek yang dibawahi oleh pemerintahan Joko Widodo yaitu proyek strategi nasional. Namun aksi penolakan itu bagai “angin lalu” sudah berbagai bentuk protes yang dilakukan dari audensi hingga aksi lagi-lagi tidak diindahkan. Hingga pada tanggal 8 Februari 2022 aksi penolakan ini kembali bergejolak hingga mengakibatkan korban secara fisik dan psikis (luka-luka dan trauma).

Kisruh yang terjadi di Wadas meninggalkan trauma bagi Warga Wadas. Penangkapan kepada puluhan warga Wadas terjadi pada Selasa (8/2/2022). Menurut warga wadas, saat itu ada ratusan polisi masuk ke Desa Wadas. Hingga saat ini, banyak warga yang memilih lari ke hutan karena trauma pasca-kericuhan di lokasi rencana pembangunan quarry batu andesit. Kondisi ini masih menakutkan makanya cari aman di hutan," kata seorang warga Wadas, (kompas.com)

Dalam aksi penolakan ini mengakibatkan 64 Warga Desa Wadas di tangkap salah satunya seniman Yayak Yatmaka dan anak dibawah umur (CCN Indonesia). Berbagai cuitan di media sosial pun turut serta melakukan aksi pengecaman dengan hastag #WadasMelawan, #SaveWadas, dan #WadasMenolakTambang. Selain itu banyak beredar video kekerasan yang dilakukan oleh aparat untuk membubarkan aksi Warga Wadas bahkan aksi ini dinilai sangat tidak manusiawi pasalnya tindak kekerasan ini dilakukan dengan cara mengepung, menangkap paksa hingga pemukulan yang terjadi dilingkungan masjid. Tindakan respiratif yang dilakukan aparat tersebut secara tidak langsung mencederai Pasal 28 E ayat 3 UUD 1945 yang berbunyi “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat”.Sangat miris melihat hal ini, disaat perjuangan hak dan aspirasi diperkosa secara membabi buta oleh pihak aparat yang seharusnya menjadi pengawal dari kedua belah pihak yang bersengketa.

Wadas merupakan sebuah desa di salah satu Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah yang dijadikan lokasi pembangunan bendungan Bener sekaligus penambangan batu andesit. Potensi kelimpahan sumberdaya alam desa Wadas dalam laporan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) tercatat komoditas perkebunan menghasilkan pendapatan mencapai 8,5 miliar, sementara kayu keras mencapai 8,1 miliar per 5 tahun. Dengan kalkulasi menjadi 1,7 miliar per tahun ditambah dengan 8,5 miliar per tahun. Sehingga total pendapatan desa wadas pertahun sekitar 102 miliar hanya dari dua komoditas itu saja. Hal ini menunjukan bahwa sektor ekonomi, sektor pendidikan, kesehatan dan sosial di wadas baik-baik saja jika diasumsikan kedalam pendapatan perkapita masyarakat desa wadas

Secara umum masyarakat wadas terbagi ada pro dan kontra dengan adanya pembangunan bendungan sungai bener yang direncanakan di desa Guntur. Hal yang menjadi permasalahan saat ini adalah persoalan penambangan batu andesit yang ditambang di desa Wadas sebagai komponen dasar penyusun bendungan dengan dalih pembangunan infrastruktur daerah. Selain itu dampak yang ditimbulkan akibat penambangan buatan andesit ini dapat mengakibatkan kerusakan lingkungan. Penambangan quarry dapat mengikis bukit diwilayah ini sehingga berdampak pada krisis ekologis. Potensi seperti rempah-rempah, buah-buahan, kopi, aren dan karet akan terancam sehingga masyarakat dapat kehilangan mata pencaharian.

Pembangunan yang dilakukan pemerintah dinilai hanya mengejar pendapatan ekonomi dan mengesampingkan aspek Sosial, Budaya dan Lingkungan. Lantas bagaimana jadinya jika data tersebut dipatahkan dengan logika modern yang amburadul? Pemahaman bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat dinilai dengan sudut pandang materialistik dari bangunan yang mewah dengan menggerus hasil alam yang ada dengan dalih pembangunan daerah. Siapa sebenarnya yang ingin disejahterakan? Kalangan elit pemerintah atau masyarakat desa wadas ?. dasar hukum dari proyek ini merupakan UU Cipta Kerja, dimana UU omnibus law ini “ tanah merupakan kepentingan umum dan dapat dipergunakan untuk kepentingan bersama” namun hal ini hanya menguntungkan segelintir orang yang tergabung dalam sistem oligarki, rakyat kecil dipaksa hidup berdampingan dengan kondisi yang memprihatinkan dan rawan bencana akibat dari proyek pembangunan yang lupa pada aspek lingkungan.

Keputusan yang diambil pemangku kebijakan sangat keliru terkhusus Gubernur Jawa Tengah Pemerintah pusat melalui Balai Besar Wilayah Sungai Serayu Opak (BBWSSO) Direktorat Jenderal Sumber Daya Air, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Tidak sepantasnya subtitusi dua wilayah desa yang saling bersebrangan digerus SDA secara brutal dengan tidak mempertimbangkan lokasi hidup masyarakat dari mulai sumber mata air, perkebunan sebagai lokasi mata pencarian masyarakat desa wadas, dan rumah mereka yang dipangkas untuk kepentingan penambangan. Sadisnya lagi, moral yang dipakai dalam hal ini sangat tidak etis dengan mengambil kebijakan secara sepihak oleh pemangku kebijakan yang disebutkan. 

Menurut Rina mardiana (Akademisi IPB) yang melakukan survey di desa wadas berbanding terbalik dengan realitanya, dimana hasil perbandingannya Andal menyebutkan bahwa 85,5 persen warga Wadas bersedia jika lahannya digunakan untuk area penambangan andesit (Quarry area). Padahal faktanya, kata Rina, 7 dari 11 dusun di Wadas secara konsisten menolak penambangan tersebut. Bahkan, lanjutnya, tujuh dusun tersebut menyampaikan penolakan tersebut kepada Balai Besar Sungai Serayu Opak (BBWSSO). Selanjutnya terkonfirmasi juga bahwa dari aspek formil ditemukan kejanggalan dalam pembuatan Andal bendungan benner. Misalnya seperti konsultasi publik yang tidak dilakukan dengan mekanisme seharusnya dipakai dan kleim sepihak tentang persetujuan warga terhadap penambangan andesit. Sementara dari aspek materiil, akademisi dan kelompok masyarakat sipil menyebut relasi sejarah warga Desa Wadas dengan lingkungannya tidak menjadi dasar pertimbangan dalam penyusunan ANDAL.

Namun walaupun ada penolakan tersebut, Andal Pembangunan Bendungan Bener yang mencakup penambangan quarry di Wadas bisa lolos, Maret 2018. Dokumen itu sama sekali tidak menyebutkan soal penolakan warga Desa Wadas (Muryanto 2021).

Sangat tidak ramah dengan apa yang dilakukan pemangku kebijakan yang memiliki pandangan moral yang sangat buruk, dimana terkonfirmasi: 1) Klaim sepihak dari pemangku kebijakan, 2) Konsultasi publik yang sangat buruk untuk penyelesaian andal pembukaan tambang terhadap dampak dari kehidupan masyarakat, 3) Pengambilan keputusan diambil secara otoriter. Pemerintah seharusnya menjunjung tinggi asas demokrasi yang mana kedaulatan terbesar berada di tangan rakyat “dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat”. Pembangunan tidak boleh melepaskan aspek sosial, budaya, dan lingkungan.