Kebijakan Hukum Dalam RUU KUHP Tentang Tindak Pidana Terhadap Penghinaan Presiden

Kerisjambi.id
Editor -

 


OLEH: ANDINA RASICA MILYANI PANE

NIM P2B122030


Negara Indonesia merupakan sebuah negara hukum yang demokratis dengan dilandasi Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Setiap warga Negara di jamin dalam hukum. Akhir-akhir ini di indonesia sering sekali terjadi kasus-kasus penghinaan yang dilakukan seorang warga negara kepada seorang kepala negara atau wakil kepala negara. Penghinaan kepada pemimpin negara sudah khalayak di masyarakat luas dari penghinaan yang dilakukan secara lisan, tulisan sampai gambar melalui media sosial seperti, facebook, Twitter bahkan instagram. 

Belakangan ini, banyak kasus dengan dalih mengkritik namun nyatanya menghina dan menyudutkan kinerja bahkan pribadi pemimpin Negara. Sebenarnya, mengkritik tidaklah dilarang di Negara kita Indonesia. Namun seharusnya kritikan tersebut tidaklah mengandung unsur penghinaan. Kita bisa mengambil contoh pada tahun 2006 silam yang pada saat itu Indonesia masih dipimpin oleh Bapak Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Presiden. 

Peristiwa itu terjadi pada tanggal 3 januari 2006, beliau mendatangi kantor KPK beliau mengucapkan perkataan-perkataan yang menyerang nama baik, maratabat atau keagungan Presiden Republik Indonesia dihadapan pers baik dari media cetak dan elektronik diantaranya Reporter RCTI, TPI, Metro TV, Detik Com, Radio Elsinta, wartawan Rakya Merdeka, Kompas, dan Republika. Kemudian yang di sertai dengan saksi Alexander Zulkarnain (Reporter RCTI), dan saksi Ubaidillah (Kameramen TPI) yang menyebutkan bahwa Presiden beserta Kementriannya mendapatkan sebuah mobil jaguar yang diberikan oleh seorang pengusaha yang bernama Hary Tanoesoedibjo. 

Oleh akibat itu, Eggy dilaporkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan ancaman pidana Pasal 134, 136 bis KUHP. Pada tanggal 22 Februari 2007 Eggy divonis bersalah oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yaitu 3 bulan dengan masa percobaan 6 bulan. Tapi karena Eggy tidak menerima atas vonis yang diterimanya, Eggy pun mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung namun permohonan ditolak. Maka untuk melindungi terjadi pencemaran nama baik dibuatlah sebuah aturan untuk menekan terjadinya kasus pencemaran nama baik agar tidak terjadi lagi.

Dalam mengambil langkah melindungi harkat dan martabat pemimpin Negara yaitu Presiden, pemerintah melakukan perancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Dimana formulasi RUU KUHP ini telah direncanakan sejak lama, namun tak kunjung terselesaikan. Dan pada tahun 2019 isu RUU KUHP menjadi panas di golongan masyarakat luas. Banyak pasal yang menjadi pro dan kontra didalam kalangan masyarakat, salah satunya yaitu pasal yang membahas tentang Tindak Pidana penghinaan Terhadap Presiden. 

Dalam naskah akademik RKUHP dijelaskan bahwa diaturnya ketentuan mengenai “penghinaan presiden” karena dinilai sesuai dengan jiwa bangsa Indonesia yang bersifat kekeluargaan. Jika kepala negara diserang atau dihina, masyarakat tidak akan dapat menerima hal tersebut. Kepala negara dan wakilnya dapat dipandang sebagai personifikasi negara dan di Indonesia, masyarakatnya masih mempunyai rasa hormat yang kuat terhadap presiden dan wakil presidennya.

Sebenarnya, salah satu hak warga negara yaitu kebebasan berpendapat dan kebebasan berbicara. Kebebasan berbicara adalah kebebasan yang mengacu pada sebuah hak untuk berbicara secara bebas tanpa adanya tindakan sensor atau pembatasan akan tetapi dalam hal ini tidak termasuk dalam hal untuk menyebarkan kebencian. Dalam UUD 45 Pasal 28E ayat 3 yaitu "Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat." Pendapat tidak hanya disampaikan secara lisan seperti pidato namun juga dapat lewat tulisan dan lain-lain. 

Munculnya RUU KUHP pada tahun 2018 yang didapati tindak pidana bagi masyarakat yang mengkritik kinerja kepala Negara dan lembaga negara secara berlebihan menuai pro dan kontra di kalangan masyarakat. Masyarakat beranggapan bahwa dengan adanya RUU KUHP ini akan membatasi aspirasi masyarakat. 

Melihat begitu banyaknya pro dan kontra di kalangan masyarakat, maka lembaga terkait melakukan peninjauan dan penataan kembali dalam perumusan pasal-demi pasal yang ada di dalam RUU KUHP. Hal ini dimaksudkan agar peraturan perundang-undangan yang tumpang tindih, inkonsistensi, bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat ditinjau kembali untuk dilakukan perubahan. Rencana Peraturan Perundang-undangan termasuk ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional ditujukan untuk menciptakan persamaan persepsi dari seluruh pelaku pembanguan khususnya di bidang hukum dalam menghadapi berbagai isu strategis nasional maupun internasional.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional ini dijabarkan pada Program Legeslasi Nasional (Prolegnas). Program Legeslasi Nasional adalah bagian dari manajemen dan politik pembentukan peraturan perundang-undangan yang merupakan instrumen perencanaan program pembentukan ataupun perbaikan Undang-Undang yang disusun secara terpadu dan sistematis. Secara garis besar arah politik hukum yang dituangkan dalam Prolegnas tahun 2005-2009 adalah sebagai berikut:

Membentuk peraturan perudang-undangan di bidang hukum, ekonomi, politik, agama, pendidikan, ilmu pengetahuan dan teknologi, sosial budaya, pembangunan daerah, sumber daya alam dan lingkungan hidup, pertahanan dan keamanan sebagai pelaksanaan amanat UUD 1945

Mengganti Peraturan Perundang-Undangan peninggalan kolonial dan menyempurnakan peraturan perundang-undangan yang sudah ada yang tidak lagi sesuai dengan perkembangan jaman

Mempercepat proses penyelesaian rancangan undang-undang yang sedang dalam proses pembahasan dan membentuk undang-undang yang diperintahkan oleh undang-undang

Membentuk peraturan perundang-undangan baru sesuai dengan tuntutan masyarakat dan kemajuan jaman

Dan masih banyak lagi poin-poin nya. Salah satu upaya konkrit dalam mewujudkan program legislasi nasional ini adalah melakukan pembaharuan atau rekonstruksi terhadap hukum.

Di dalam RUU KUHP pada pasal 217 sampai pasal 220 yaitu pasal mengenai tentang penghinaan presiden. Pasal-Pasal ini dapat menghambat hak atas kebebasan menyatakan pikiran, dengan lisan, tulisan, dan ekspresi, padahal dalam putusan Mahkamah Konstitusi No. 013-022/PUU-IV/2006, menyatakan bahwa Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP tentang tindak pidana penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden tidak lagi mempunyai kekuatan mengikat atau dengan kata lain sudah tidak berlaku lagi. yang menjadi kontroversial pada pasal ini terdapat pada pasal 218 ayat 1 yang berbunyi “setiap warga negara di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri presiden atau wakil presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV. Pada Pasal 240-241 RUU KUHP mengancam pidana penjara maksimal 3 tahun bagi setiap orang yang menghina pemerintah yang sah di muka umum yang mengakibatkan kerusuhan dalam masyarakat dan Pasal 354 RUU mengancam pidana siapapun yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar atau memperdengarkan rekaman, atau menyebarluaskan melalui sarana teknologi informasi yang berisi penghinaan terhadap kekuasaan umum atau lembaga negara.

Kritik terhadap RKUHP dari Aliansi Nasional Reformasi KUHP sudah ada sejak tahun 2007. Khususnya kritik terhadap delik penghinaan presiden/wakil presiden yang dihidupkan kembali dalam RKUHP, bisa menimbulkan ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid). Karena amat rentan terhadap penafsiran yang luas mengenai apakah suatu protes, pernyataan pendapat atau pikiran merupakan kritik atau penghinaan terhadap presiden dan/atau wakil presiden. Hal ini secara konstitusional akan bertentangan dengan Pasal 28 D ayat (1) UUD NRI 1945, dan pada suatu saat dapat menghambat upaya komunikasi dan perolehan informasi yang dijamin oleh Pasal 28F UUD NRI 1945. Delik penghinaan presiden berpeluang menghambat hak atas kebebasan menyatakan pikiran dengan lisan, tulisan, dan ekspresi sikap. Karena delik-delik penghinaan presiden/wakil presiden digunakan aparat hukum terhadap momentum-momentum unjuk rasa di lapangan. Hal ini dimaksud secara konstitusional bertentangan dengan Pasal 28, Pasal 28E ayat (2), dan (3) UUD NRI 1945. Dalam suatu negara demokrasi, kepentingan pemerintah harus mendapatkan pengawasan agar tidak sewenang-wenang. Artinya pemerintah tidak boleh anti kritik dari warga negaranya.

Dengan merujuk Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 013-022/PUU-IV/2006, putusan tersebut memerintahkan agar RKUHP tidak mengatur kembali pasal-pasal yang isinya sama atau mirip dengan Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHPidana, pada tahun 2006 Mahkamah Konstitusi memutuskan untuk menghapus pasal penghinaan presiden. Dengan alasan, pembaharuan hukum pidana tersebut dipandang tidak mampu mengikuti perkembangan pemikiran atau ide dan aspirasi tuntutan atau kebutuhan masyarakat baik nasional maupun internasional.

Merunjuk pada teori kebijakan hukum pidana yang diungkapkan oleh Arief bahwa kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan pada hakikatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya mencari kesejahteraan masyarakat (social welfare). Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa tujuan akhir atau tujuan utama dari kebijakan hukum pidana ialah perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Politik kriminal pada hakikatnya juga merupakan bagian integral dari politik sosial yaitu kebijakan atau upaya untuk mencapai kesejahteraan sosial.

Apabila dibandingkan Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHPidana yang sudah dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi, dengan Pasal 217 sampai Pasal 220 RKUHP mengatur substansi yang hampir sama yaitu penyerangan terhadap pribadi presiden/wakil presiden. Perbedaannya ialah RKUHP mengatur delik penghinaan presiden/wakil presiden sebagai delik aduan. Pengaturan substansi yang sama dalam RKUHP tersebut yang menjadi kontroversi dalam masyarakat. Oleh karena itu, masyarakat Indonesia bisa menolak dengan argumentasi yang kuat karena Mahkamah Konstitusi telah menyatakan Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHPidana tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan memerintahkan untuk tidak mengatur kembali delik penghinaan presiden/wakil presiden.

Kebijakan hukum pidana secara sederhana dapat dimaknai sebagai usaha rasional yang ditempuh oleh negara dalam menanggulangi kejahatan dengan menggunakan sarana hukum pidana. Praktiknya kebijakan hukum pidana menurut Bassiouni melalui tiga tahapan, yakni: tahap formulasi (proses legislatif), tahap aplikasi (proses peradilan/judicial), dan tahap eksekusi (proses administrasi). melaksanakan kebijakan hukum pidana berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik, dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Sudarto juga menyatakan bahwa melaksanakan kebijakan hukum pidana berarti usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan, dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang.







Tags: