Oleh : Sarry Anugrah Putri
Kekerasan seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, dan atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa dan atau relasi gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan atau politik.
Kekerasan seksual menjadi salah satu bentuk kejahatan yang terus meningkat belakangan ini, dikarenakan kasusnya yang terus bertambah dan jenis yang semakin bervariatif seiring dengan berjalannya waktu. Tindak kejahatan kekerasan seksual merupakan tindak kejahatan yang dibenci oleh seluruh lapisan masyarakat, dikarenakan hal tersebut merupakan hal yang dianggap dapat merusak harkat dan martabat manusia.
Meningkatnya kejahatan berupa kekerasan seksual, membuat Komnas Perempuan mengajukan keinginannya akan peraturan yang dapat menghapus kekerasan seksual, peraturan tersebut dinamakan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual, yang kemudian dikenal singkatannya yaitu RUU PKS. Pembahasan RUU tersebut terus berjalan dan berusaha untuk memperoleh pengesahannya.
Dalam proses pengesahan tersebut terdapat pula hambatan-hambatan yang harus dilewati. Hambatan tersebut berupa permasalahan rendahnya budaya literasi di masyarakat. Dengan hanya mengandalkan isu-isu di sosial media kemudian langsung beranggapan bahwa RUU tidak sesuai norma tanpa mengkaji lebih jelas dan mencari informasi mengenai dampak dari pengesahan RUU. Sehingga menimbulkan pro dan kontra yang mana ada pihak yang menolak keberadaan RUU PKS yang dianggap tidak sesuai dengan adat timur dan norma agama. Hal ini pada kenyataanya sangat bertentangan dengan isi RUU PKS yang sebenarnya—di mana RUU ini murni bertujuan untuk menjadi payung hukum bagi korban kekerasan seksual dan memberikan keadilan untuknya.
Kemudian RUU ini mengalami perubahan nama menjadi RUU TPKS, yang mana tidak sedikit pihak dari aktivis RUU PKS melakukan protes dikarenakan adanya point krusial yang dihilangkan menurut mereka. Sehingga yang awalnya merupakan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual diubah menjadi RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Kata ‘penghapusan’ diubah karena dianggap sebagai suatu kemustahilan. Selanjutnya dalam pembahasan DPR masih menuai protes karena dinilai belum membahas tentang LGBT yang mulai muncul di Indonesia.
Namun, pada akhirnya setelah melalui banyaknya tantangan, RUU TPKS berhasil disahkan menjadi UU TPKS yang sudah berlaku sejak 12 April 2022. Dalam pelaksanaanya, UU TPKS diharapkan dapat menerapkan asas-asas dan juga metode yang dapat menghasilkan sesuatu yang baik dan ditaati oleh masyarakat.