Oleh : Antony Z Abidin
SENIN pagi (14/8), sehari setelah deklarasi mendukung Prabowo Subianto menjadi capres, saya chatting dengan Ketum Golkar Airlangga Hartarto (AH).
Dilanjutkan dengan pembicaraan telpon. Saya sampaikan pilihan mengusung Prabowo, realistik dan taktis.
“Lebih realistik lagi jika Ketua Umum Golkar yg jadi Wakil Presidennya,” ucap saya dlm pembicaraan telpon itu.
Tidak terlalu menyimpang dari amanah Munas, Rapim dan Rakor Golkar. Ngga jadi capres, cawapres pun OK.
Bagi Partai Golkar, “to be or not to be”, seperti ucapan penuh makna Hamlet dalam karya besar William Shakespeare.
Airlangga ditugaskan instansi tertinggi partai untuk mengembalikan “positioning” dan marwah Golkar sebagai partai besar.
Dengan berbagai tantangan, masalah dan konsekuensi kepartaian atau bahkan pribadi.
Ia betul-betul harus “pandai-pandai meniti buih”, seperti kata pepatah: “Jika pandai meniti buih, selamat badan sampai ke seberang.”
Desakan munaslub berhasil dihentikan. Seluruh DPD I Golkar sebagai kunci penentu, 100% menolak Munaslub, seperti ditegaskan Plt Ketua Golkar Papua
Papua Ahmad Doli Kurnia dlm pertemuan 38 DPD I Golkar bersama Ketum Golkar Airlangga Hartarto di Bali 30 Juli 2023.
Lebih dahsyat lagi, para mantan Ketum Golkar yaitu Akbar Tandjung, Jusuf Kalla, Aburizal Bakrie dan Agung Laksono menolak upaya Munaslub Golkar.
Fokus saja pada agenda pemilu 14 Februari 2024, agar Golkar jadi pemenang seperti th 2004, ucap Akbar Tanjung ketika saya menemuinya di Shanghai Kamis lalu (24/8).
Ketum Golkar 1998-2004 ini menyadari, berbagai tantangan internal maupun eksternal yg merupakan proses dan dinamika politik, akan tetap menghadang nakhoda kapal besar berlambang pohon beringin rimbun itu.
Hal itu tak terlepas dari realitas politik selama seperempat abad, sejak Golkar bukan lagi “the ruling party”.
Sejak itu, Golkar mengalami masa-masa sulit. Untuk survive bagaikan meniti buih itu. Peran sejarah itulah yg sedang diletakkan kepundak Ketua Umum partai yg tahun depan akan berusia 60 ini.
Berbagai pengalaman pahit pernah dialami Partai Golkar semasa kepemimpinan Akbar Tandjung.
Diserbu, dibakar kantor-kantornya dibubarkan melalui Dekrit.
Pemilu pertama di era reformasi, penuh luka dan derita. Tetapi masih menjadi pemenang nomor dua.
Pemilu berikutnya, 2004, berhasil bangkit, menjadi pemenang dengan 127 kursi di DPR RI.
Mengalahkan PDIP yg tadinya unggul, dari 153 (1999) menjadi 109 kursi, 18 kursi dibawah Golkar.
Sayangnya, sekalipun menang di parlemen, tetap gagal menempatkan calon hasil konvensi partai Golkar menjadi Presiden.
Calon Golkar Jendral Wiranto yg berpasangan dengan adik Gus Dur Solahudin Wahid, dikalahkan Jendral SBY yg berpasangan dengan JK.
Pada putaran kedua Golkar mendukung capres PDIP Megawati Sukarno Putri. Karena kalah, menjadi oposisi dalam Koalisi Kebangsaan.
DI sinilah keretakan itu dimulai. Wiranto mendirikan Hanura. Berikutnya Prabowo mendirikan Gerinda
Dalam Munas Golkar di Bali tahun 2004, Wapres JK menang meraih posisi Ketua Umum Partai Golkar, menggantikan Akbar Tandjung.
Maka bubar lah Koalisi Kebangsaan, karena partai Golkar yg semula tidak mendukung pasangan SBY-JK, sudah berpindah tangan.
Pada Pilpres 2009, Golkar kembali mengusung capres: JK, pada saat JK menjabat Ketum Golkar. Wakilnya Jendral Wiranto. Namun kalah.
Secara bersamaan, perolehan kursi di DPR-RI juga ikut anjlok, tergerus 21 kursi menjadi 106. Pencapresan Ketum Golkar Jusuf Kalla tidak menghasilkan coat tail effect, seperti yg diharapkan.
Sejak saat itu, terjadi penurunan suara Golkar pada pemilu berikutnya. Pemilu 2014 menjadi 109 dan tahu 2019 melorot ke titik 85, namun masih menjadi pemenang nomor 2.
Pada 2 periode pemilu itu, Golkar absen mengusung kadernya menjadi Capres maupun cawapres.
Padahal Ketua Umum Golkar Aburizal Bakrie sudah ditetapkan menjadi calon presiden melalui Rapim 2 tahun sebelum pemilu 2014. Sayangnya presidential threshold tidak tercapai.
Konglomerat mantan Ketua Kadin dan Menko Ekuin era Presiden SBY yang meskipun survei elektabilitasnya lumayan itu, akhirnya urung ikut Pilpres.
Airlangga tentulah belajar dari pengalaman para ketua umum pendahulunya itu.
Sebagai partai besar, Golkar memiliki kekuatan dan juga sekaligus kelemahan.
Golkar memiliki modal politik yg melimpah, termasuk tokoh-tokoh nasional yg andal. Kekalahan Surya Paloh pada Munas Golkar di Pekanbaru, berdampak perpecahan.
Melahirkan Partai Nasdem dengan pengurus inti sejumlah kader utama Golkar di tingkat pusat dan daerah.
“Suara Golkar mestinya 40%, tetapi perpecahan membuat partai ini semakin mengecil,” ucap Jusuf Kalla kepada saya 6 Mei lalu di rumahnya.
Bagaimana agar tetap kompak? Jawaban yang tepat hingga saat ini adalah strategi “follow the winner”.
Langkah bijak itulah yg ditempuh AH. Diawali 27 Juli 2017, dilantik menjadi Menteri Perindustrian. Jabatan yg pernah diduduki Hartarto Sastrosoenarto, ayahnya.
Memuluskan langkah AH “meniti buih” seusai stunami politik yg dialami Golkar sepanjang tahun 2015-2017.
Dualusme kepemimpinan dan kasus hukum Ketum Setya Novanto yg nyaris menghancurkan Golkar sepanjang 2015-2017, kehadiran Airlangga dengan langkah taktisnya masuk di kabinet merupan solusi utk mengatasi kuruwetan dlm kepeminpunan dan organisasi partai besar ini.
Betapa tidak,
Pada pilpres 2014, Golkar mendukung Prabowo yang ketika itu dikalahkan Jokowi-JK.
Sejarah mencatat sikap oposisi dan “tidak ikut yang menang” berakibat Golkar kembali terbelah.
Golkar punya dua Ketua Umum kala itu. Kubu Abudrizal Bakrie berada di luar pemerintahan bersama Koalisi Merah Putih (KMP). Sedangkan Kubu Agung Laksono berada di dalam pemerintahan dan bergabung bersama Koalisi Indonesia Hebat (KIH).
Keduanya masing-masing dikukuhkan menjadi Ketum Golkar dalam Munas yang berbeda.
Abudrizal Bakrie dipilih sebagai Ketum pada Munas IX Golkar di Bali. Agung Laksono dipilih sebagai Ketum pada Munas IX Golkar di Ancol, Jakarta.
Kekisruhan berlanjut ke pengadilan, Maret 2015, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) mengesahkan kepemimpinan Agung Laksono dalam hasil Munas di Ancol, Jakarta.
April 2015 Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta memutuskan penundaan pelaksanaan keputusan dari Kemenkumham karena kubu Aburizal Bakrie berusaha menggugat hasil putusan. Pada tanggal 10 Juli 2015, hakim menolak gugatan kubu Aburizal Bakrie, dan resmi menetapkan Agung Laksono sebagai Ketum yang sah.
Kemudian Aburizal Bakrie mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Pada Oktober 2015, MA mengabulkan kasasi kubu Aburizal Bakrie. Kemenangan di MA membuat Aburizal Bakrie secara sah diakui sebagai Ketum Golkar.
Gejolak semakin panas. Baru berakhir setelah disepakati menggelar Munaslub yang kemudian berlangsung medio Mei 2016. Terpilih Setya Novanto, yang menjabat Ketum tak begitu lama kerena tersandung kasus E-KTP yg menjadikannya tersangga pd 10 November.
Munaslub Golkar 20 Desember 2017, memilih secara alkamsdi Airlangga yg ketika itu menjabat Menteri Perindustrian
Munas Golkar Desember 2019, memilih kembali AH secara aklamasi. Insinyur alumni UGM ini juga diberikan mandat utk menetapkan calon presiden pd Pemilu 2024.
Mandat itu diperkuat melalui Rapat Pimpinan Nasional dan Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) yg memperkukuh Menko Perekonomian itu menjadi Calon Presiden RI 2024-2029.
Ketika saya pamit hendak ke Wuhan pagi ini, Bang Akbar minta saya menyampaikan salam dan pesannya kepada Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto dan seluruh jajaran Golkar.
“Golkar harus solid dan fokus untuk memenangkan Pemilu 2024.,” ucap Bang Akbar yg berada sebulan di Shanghai untuk perawatan kesehatan.
Shanghai, 26 Agustus 2023.
*penulis adalah wartawan senior, sosiolog alumni UI, pengurus DPP Golkar 1998-2004.