Oleh: Mahli Zainuddin Tago
Hotel Jambuluwuk Jogja, Kamis 21 September 2023. Aku bersua lagi dengan seorang senior. Pertemuan kali ini terasa istimewa karena beliau memiliki waktu lebih longgar. Ini bulan-bulan terakhir dari periode kedua jabatannya. Lalu agenda inti beliau ke Jogja sudah selesai sehari sebelumnya. Beliau sudah bertemu dengan Pemkot Jogja dan Mantan Bupati Sleman sahabat lamanya. Hari ini anggota rombongan menuju utara menikmati Candi Borobudur.
Sedangkan beliau, bersama Uni istri beliau, menerima tawaranku ke arah selatan, menikmati Pantai Selatan Jogja. Waktu yang banyak dan suasana santai memunculkan banyak cerita tentang kampung halaman kami. Juga tentang perjalanan hidup beliau yang tidak kalah menarik. Sebagian aku sudah tuliskan dalam tiga tulisan sebelumnya. Tulisan ini fokus pada perjuangan beliau menuntu ilmu. Anggaplah ini sebagai kado atas selesainya satu episode penting dari sejarah hidup beliau.
Pada era 1970 Kerinci mengalami booming ekonomi. Ini dinikmati terutama oleh peladang kulit manis yang tumbuh subur di Kerinci Hulu dan Kerinci Hilir. Tetapi situasi sebaliknya dialami PNS. Sepupuku Ngah Ha, misalnya, bersama Pak Tab suaminya yang guru SMA tinggal di kota kabupaten kami. Gaji Pak Tab sebagai PNS tidak cukup untuk kebutuhan mereka bersama beberapa anak tinggal disana. Maka Ngah Ha beternak itik di belakang rumahnya untuk mendukung asupan gizi keluarga. Sementara itu di Hilir di Pulau Sangkar kampung halaman Ngah Ha peladang menikmati kemakmuran.
Setiap minggu selalu ada orang sedesa datang ke rumah Ngah Ha di kota. Ketika survei harga di toko emas mereka menitipkan uang pada Ngah Ha. Ngah Ha akhirnya tergoda pindah ke Hilir. Dia ikut berladang menanam kulit manis. Belakangan Pak Tab juga pindah. Dari guru SMA di Sungai Penuh menjadi guru SD, sekolah tertinggi yang ada di dusun kami kala itu.
Situasi berbeda terjadi pada seorang guru PNS di Desa Siulak di Kerinci Hulu. Desa di kaki Gunung Kerinci ini juga lumbung kulit manis. Disini seorang guru SD fokus pada pekerjaan sebagai guru. Beliau tidak berladang sebagaimana Ngah Ha di Hilir.
Tetapi Sang Guru sangat bersemangat menyekolahkan anak-anaknya. Maka beliau kerap dicemeeh (dihina) orang se kampung. Sang Guru keras hati. Beliau tidak peduli dengan cemeeh keluarga maupun tetangga. Beliau terus berjuang demi pendidikan anak-anaknya. Beliau yakin pendidikan bisa menghantarkan anak-anaknya ke masa depan yang lebih baik.
Untungnya anak-anaknya memiliki semangat yang tidak kalah kuat dibanding sang orang tua. Mereka membantu orang tua dengan sekolah sambil bekerja. Bekerja apa saja. Termasuk si anak nomor dua. Dalam bahasa Kerinci anak kedua, sebagai mana Ngah Ha, dipanggil Ngah. Dalam tulisan ini selanjutnya anak Sang Guru ini ditulis dengan Ngah saja.
Ngah anak yang keras hati ini sejak tamat SD mulai berjuang melawan keterbatasan ekonomi keluarga. Sambil sekolah SMP dia membantu orangtuanya dengan ikut bekerja. Karena belum memiliki ketrampilan maka pekerjaan yang bisa dia raih hanya pekerjaan kasar. Dia menjadi kuli angkut pasir di Sungai Batang Merao. Sungai yang membelah dusunnya, Siulak. Si anak SMP ini menaikkan pasir ke bak Jeep, mobil yang digunakan para penjual pasir masa itu. Pekerjaan fisik ini nampaknya ikut membentuk fisik Ngah menjadi tangguh.
Dia tidak mudah masuk angin dalam perjuangan menaklukkan tantangan pada fase-fase berikut kehidupannya. Setamat SMP Ngah lanjut sekolah masuk STM di Sungai Penuh. Karena di kota kabupaten ini tidak ada sungai yang menghasilkan pasir maka Ngah mencari pekerjaan lain. Ngah memperoleh penghasilan tambahan dengan menjadi penjual karcis bioskop.
Pada 1981 Ngah tamat dari STM Sungai Penuh. Dia lalu keluar Kerinci untuk kuliah di IKIP Negeri Padang. Kampus ini kini bernama Universitas Negeri Padang (UNP). Di kampus ini Ngah kuliah di Jurusan Seni Rupa. Selama kuliah di samping menimba ilmu seni Ngah juga mengasah kemampuannya dalam seni menghadapi realitas hidup dalam serba keterbatasan biaya. Maka disamping kuliah Ngah bekerja serabutan. Dia misalnya menjadi stokar atau kernet bis kota.
Ngah sengaja menjadi stokar bis kota yang melayani penumpang ke arah selatan, jurusan Padang-Teluk Bayur. Jurusan ini melalui satu titik terkanal yaitu Gadut lokasi Rumah Sakit Jiwa Padang. Ngah sengaja menghindari jurusan utara. Jurusan utara akan membawa dia melalui kampusnya, IKIP Padang. Ujar Si Ngah, “Kalau penumpang adalah teman sesama mahasiswa tentu tidak enak hati bagi stokar untuk menarik ongkos.”
Dalam masa perjuangan yang berat di Padang ini Ngah juga pernah menjadi kuli bangunan. Ini dia jalani di sela-sela perkuliahan di kampusnya di kawasan Air Tawar. Dalam hal ini Ngah sering bergabung dalam kerja lembur ketika pemborong mengerjakan pengecoran lantai. Taktik lembur ini penting karena sebagai mahasiswa upah Ngah di bawah upah rata-rata kuli bangunan pada umumnya. Dengan ikut kerja lembur pada hari libur Ngah bisa mendapatkan upah dua kali lipat.
Hari libur juga berarti tidak menganggu aktivitas perkuliahan. Maka ada begitu banyak rumah atau bangunan di Padang dimana Ngah terlibat dalam proses pembangunannya. Cerita Ngah lebih lanjut, “kini setiap ke kota Padang ada banyak bangunan yang seakan menyapaku. Dulu aku terlibat sebagai kuli dalam pembangunanya.”
Meski kuliah sambil cari biaya Ngah tetap aktif di dunia kemahasiswaan. Ngah memang sudah terbiasa aktif sejak di kampung halaman. Dia anggota Pramuka di SD dan menjadi Seksi Kesenian OSIS ketika di SMP. Ketika di STM Ngah menjadi pengurus Seksi Agama dan Sosial OSIS.
Maka ketika kuliah menjadi aktivis bukan sesuatu yang baru baginya. Ngah masuk dalam Komisi A (Kegiatan Ilmiah) BPM FPBS dan menjadi Anggota HMI Komisariat IKIP Padang. Ngah juga aktif sebagai pengurus organisasi kedaerahan. Antara lain dia menjadi Pengurus IPMGK Padang dan IMK Sumbar.
Di samping itu Ngah juga menjadi aktivis masjid. Dia menjadi Pengurus Seksi Duha Studi Islam Masjid Al Azhar Padang. Singkat cerita Ngah berhasil menaklukkan besarnya tantangan dalam menuntut ilmu. Dia berhasil menjadi sarjana dan diterima menjadi dosen PNS di STSI Sumatera Barat di Padang Panjang.
Ngah berhasil menaklukkan tantangan dalam menuntut ilmu. Tetapi tidak demikian dalam perjodohan. Sebagaimana umumnya remaja Kerinci Ngah memiliki musanak. Musanak adalah anak gadis dari kakak/adik perempuan ayah. Atau anak gadis dari kakak/adik laki-laki ibu. Di Kerinci musanak alias anak datung prioritas untuk dinikahi.
Setelah menjadi sarjana, Ngah cepat menuju Jambi tempat musanaknya berdomisili. Keluarga sang musanak ini orang kaya disana. Ngah bertemu dengan musanaknya. Salam Ngah dijawab sang musanak. Tetapi Ngah tidak dipersilahkan masuk ke rumah Sang Musanak. Tentu Ngah paham makna bahasa tubuh musanaknya ini.
Maka dengan kepala tertunduk Ngah pulang kembali ke Padang. Mereka rupanya tidak berjodoh. Tetapi Ngah belakangan justru dianugerahi wanita salihah yang setia menemaninya sampai menjadi orang sukses kini. Disini tentu berlaku pepatah bahwa dibalik lelaki sukses pasti ada seorang istri yang hebat.
Ngah adalah salah satu contoh anak muda Kerinci yang berhasil meraih keuksesan dengan perjuangan yang tidak ringan. Belakangan Ngah berhasil meraih gelar Magister dari Universitas Udayana dan gelar Doktor dari UNP almamaternya. Sejak 1986 sampai 2014 Ngah menekuni karirnya sebagai dosen di ASKI/STSI/ISI di Padang Panjang. Mulai sebagai dosen biasa sampai menjadi Direktur Pasca Sarjana. Pada 1997 aku bertemu beliau kali pertama. Kami sedang memimpin delegasi mahasiswa masing-masing pada acara MTQ Mahasisswa di Unram-NTB.
Sebagai sesama orang Kerinci di rantau kami cepat akrab. Beliau juga aktif di berbagai kegiatan kemasyarakatan. Indahnya lagi, di luar perkiraannya aliran nasib mebawanya terjun ke dunia politik. Beliau sempat menjadi Wakil Walikota Padang Panjang (2003–2008). Belakangan dia pulang ke Kerinci kampung halaman kami dan menjadi Bupati untuk dua periode (2014-2019, 2019-2024).
Selain Ngah tentu ada banyak anak Kerinci yang sukses menaklukkan tantangan di perantauan. Mereka anak-anak muda yang keras hati. Mereka rela meninggalkan zona nyaman demi menuntut ilmu. Ada Wo (anak tertua), Andok/Ndaek (anak ketiga), Buw (anak keempat), Cik (anak kelima), atau Ncuw (Anak bungsu) atau anak lainnya. Mereka berjibaku di rantau demi masa depan yang lebih baik. Tentang perjuangan seorang Wo aku sudah tuliskan dalam “WO MUNIR DAN UNI RUK Senior Tangguh dari Tanjung Pauh.”
Semoga suatu saat aku bisa menuliskan tentang perjuangan seorang Andok di Bandung yang tidak kalah serunya. Juga tentang seorang Ncuw di Jogja yang sampai menjadi tukang parkir demi bisa tetap bertahan kuliah. Sebagian mereka sukses mendapatkan musanak. Tetapi lainnya sebagaimana Si Ngah mengikuti alunan nasib menjadi anggota UKBL (Uhang Kincai Betunak Lua) alias orang Kerinci yang menikah dengan orang luar Kerinci.
Jambi, Sabtu, 4 Nopember 2023. Gubernur Jambi Dr. Al Haris melantik secara resmi Pj Bupati Kerinci. Bupati lama yang digantikan mengakhiri dua periode kepemimpinannya. Beliau akan terjun ke jalur legislatif menuju DPR RI. Karena itu harus mundur meski masa jabatannya sebagai bupati masih beberapa bulan ke depan.
Bagi publik ini berita biasa. Pada minggu-minggu ini memang ada ratusan kepala daerah lainnya yang diganti karena hal yang sama. Tetapi bagiku ini perisitiwa istimewa. Ini menandai selesainya sebuah episode dalam perjalanan seorang anak negeri dalam memimpin kampung halaman kami.
Beliau menyelesaikan amanat dengan baik. Insya Allaah. Aku biasa memanggil beliau dengan Wo sebagaimana panggilanku ketika pertama kali mengenal beliau di Mataram-NTB pada 1997. Beliau adalah Dr. Adirozal, M.Si. Alias Ngah yang menjadi tokoh utama dalam cerita ini.
Sesama menjadi bupati tentu ada banyak kritik terhadap Wo Adirozal. Sebagai manusia biasa beliau tentu memiliki kekurangan. Dalam beberapa grup WA yang aku menjadi anggotanya beliau banyak dikritik. Bahkan kadang aku merasa risih karena kritik kadang tidak proporsional.
Tulisan ini tidak bermaksud mengkritik atau membela beliau. Tulisan ini lebih pada melihat sisi lain. Sisi seorang Ngah sebagai anak muda Kerinci yang keras hati. Yang sejak remaja berani bertarung demi bisa terus sekolah. Pelajaran moralnya adalah demi menuntut ilmu jangan takut merantau dan enaklukkan berbagai rintangan disana.
Setelah bekerja keras dan ikhlas, berhasil atau tidak serahkan pada taqdir. Dimulai dengan menjadi kuli angkut pasir Batang Merao diakhiri menjadi Bupati Kerinci dua periode. Sungguh sebuah pencapaian yang dahsyat. Untuk Ngah Alias Wo Adirozal, baaraka wa yassarallaahu fii kulli umrik.
Gedung Pasca Sarjana UMY, 09 November 2023