Kejadian ini terjadi karena jalur resmi pulang mereka ke laut, yang biasanya melewati sungai, tidak lagi dapat menampung kapasitas air yang meluap. Sungai telah melampaui batas daya tampungnya, membuat air keluar dari jalur resminya, mencari jalur alternatif dengan cepat menuju laut. Ketika air meluap dan mencari jalan masing-masing, inilah saat ketika kerusakan mulai terjadi. Pasukan air besar ini menghantam segala yang berada di jalur pulang mereka, terkadang dengan kekuatan yang bahkan tanah dan bebatuan tidak mampu menahan, menyebabkan banyak yang terseret
Ketika dampak kepungan air ini tidak merusak aset atau properti manusia, seringkali peristiwa ini tidak mendapat perhatian yang cukup, tidak mencuatkan perasaan, dan cenderung diabaikan. Namun, ketika dampaknya menyentuh aset dan properti manusia, bahkan merenggut nyawa, baru kemudian peristiwa ini menjadi keprihatinan bersama. Kita menyebutnya sebagai musibah, suatu istilah yang sering kita gunakan ketika menghadapi bencana. Sementara bagi sebagian orang, ini mungkin hanya representasi dari keyakinan bahwa semua yang terjadi sudah ditentukan, dalam bentuk ujian atau ganjaran dari hukum kausal.
Penyebab banjir selalu menjadi sorotan setiap kali bencana ini terjadi, dengan liputan media dan pemberitaan yang biasanya mencakup kesaksian korban serta tanggapan dari pemangku kepentingan. Pejabat pemerintah yang terkait sering mendapatkan perhatian lebih banyak untuk merespons dan menyediakan informasi.
Salah satu pertanyaan kunci yang selalu diajukan adalah mengenai penyebab banjir itu sendiri. Menariknya, jawaban yang paling sering diberikan oleh pejabat terkait adalah curah hujan yang tinggi sebagai pemicunya. Kemungkinan, jawaban ini bersumber dari informasi yang dirilis oleh Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), sebuah lembaga yang dianggap paling kompeten dalam memberikan informasi terkait cuaca.
Sebagai
institusi yang memiliki tanggung jawab dalam mengidentifikasi dan menganalisis
kondisi cuaca, serta menyampaikan hasil identifikasi dan analisisnya kepada
publik, BMKG secara alami membatasi informasinya pada aspek cuaca. Oleh karena
itu, jawaban yang sering muncul pada setiap musim banjir adalah tingginya curah
hujan yang diakibatkan oleh berbagai fenomena cuaca yang terjadi pada saat itu.
tidak ada yang salah dengan jawaban tersebut, akan tetapi bukan hanya itu,
tetapi banyak hal, seperti, pembabatan hutan, illegal loging, penumpukan
sampah, penataan kota yang tidak baik, penambangan ilegal dan masih banyak lagi, apalagi ada pejabat
publik yang hanya menawarkan solusi dengan bahasa kita tunggu saja dan berdoa
air surut, aaaah jadi gemes sekali dengan jawaban ini.
dalam cerita banjir ini, pertanyaannya adalah apakah ini benar-benar hanya sebagai ketetapan takdir yang disebut sebagai cobaan, ataukah ini lebih merupakan hasil dari hukum kausal yang menjadikannya sebagai akibat dari tindakan-tindakan sebelumnya?
Mencoba merespons pertanyaan ini, penulis ingin menyampaikan bahwa Penyebab yang sering tidak disinggung sama sekali, kecuali oleh segelintir pengiat lingkungan dan kalangan aktivis, adalah semakin menghilangnya tutupan vegetasi alami yang disebut hutan. asalkan hutan tidak terganggu oleh campur tangan manusia, kemungkinan besar tidak akan terjadi deforestasi yang menjadi pemicu banjir. Oleh karena itu, manusialah yang seharusnya memikul tanggung jawab atas terjadinya bencana banjir ini. Namun, mengapa seluruh populasi manusia disalahkan, sedangkan yang bertanggung jawab sebenarnya adalah sebagian kecil individu yang dikenal sebagai oknum
Hutan
dijadikan mangsa empuk oleh oknum-oknum yang haus akan kekayaan pribadi atau
kelompok, tanpa merasa peduli pada masa depan atau menghargai dampak negatifnya
bagi masyarakat yang terkena imbas dari pembabatan hutan yang brutal. Meskipun
tindakan ini tidak secara eksplisit dilarang oleh undang-undang, namun
seharusnya penebangan hutan harus tunduk pada standar operasional prosedur
(SOP) yang ketat agar lingkungan tidak menjadi korban kebiadaban manusia.
Ironisnya, sedikit oknum yang melanggar aturan ini dapat menyebabkan penderitaan bagi sebagian besar masyarakat di sekitar hutan yang harus menanggung akibatnya. Yang lebih mengejutkan, pelaku pembabatan hutan seringkali bukan bagian dari wilayah yang terkena dampak, sehingga perbuatan mereka seperti kejahatan pemerkosaan terhadap alam
dan Pada titik ini, pada saat Musibah yang kita sudah ulas diatas kita semua bersatu untuk memberikan bantuan. Solidaritas kita mencapai puncak tertinggi, tetapi seiring waktu, pasokan air dari hujan mulai mereda. Air kembali secara massal tiba di laut, dan banjir surut hingga akhirnya selesai. Pejabat pemerintahan dan pengamat menghitung kerugian, angka-angka yang mengundang keprihatinan karena melebihi yang dikumpulkan sepanjang tahun. Namun, setelah keadaan kembali normal, semuanya kembali seperti biasa. Bekas banjir pada dinding bangunan menjadi saksi bisu, sementara petaka itu segera dilupakan tanpa langkah evaluasi yang memandu kita menghadapi peristiwa serupa di masa depan.
Demikian
terus terjadi selama bertahun-tahun dan banjir terus berulang, dan kita sering
gagal mengambil hikmah dari hampir setiap peristiwa yang terjadi secara
berulang.
Padahal
selalu ada pesan dari setiap kejadian alam entah itu apa saja kejadian alamnya,
Pesan yang gagal kita pahami, bahwa bencana itu terkadang merupakan sebuahn
teguran keras atas cara hidup kita yang cenderung mengabaikan keseimbangan. Tapi
teguran itu ternyata belum cukup untuk membuat kita berubah. Setelah banjir usai, kita lihat apakah oknum ini memilih berbenah
atau melupakannya...
Oleh
Tesa Mardian, aktif sebagai Kader HMI Cabang Jambi