NORWEGIA dan Diaspora Indonesia

          Bandara Soetta, Senin 8 Juli 2024. Pukul delapan malam Qatar Airlines menerbangkan kami menuju Dhoha.  Kami sudah tidak lagi tegang. Masalah kelebihan bagasi selesai. Melepas lima kaos butut menyelamatkan anggaran 14 juta Rupiah. Kini koper kabin  kami pun lebih ringan dan tidak ada tas tenteng selain ransel laptop.  Penerbangan menuju Dhoha berlangsung delapan jam lebih. Karena kelas ekonomi maka tempat duduk tentu tidak seluas kelas bisnis Batik Air. Tetapi lebih luas sekian senti dari kursi Lion Air. Pesawat tidak penuh. Suasana internasional mulai terasa. Para penumpang berasal dari berbagai bangsa. Setelah makan malam  kami tayamum untuk sholat jamak qashar magrib-isya. Lalu aku mengobrol dengan penumpang sebelah kiriku yang berwajah Asia Tenggara. Ternyata beliau orang Brebes dan menjadi salah satu inspirasi tulisan ini.


          Namanya Abdul Sutrisno. Kami pun banyak berbincang dalam bahasa Jawa dialek ngapak. Jadi berlaku adagium Ora Ngapak Ora Kepenak. Kang Trisno dalam perjalanan menuju Dublin-Irlandia. Dia sudah tujuh tahun bekerja  pada perusahaan penangkapan ikan antar negara. Dari Dublin beliau akan berlayar ke Kepulauan Folkland alias Malvinas di Samudera Atlantik bagian Selatan. Sungguh  perjalanan yang sangat jauh. Disana Kang Trisno akan melanjutkan pekerjaan menangkap ikan. Kontrak kerjanya  per enam bulan.  Sudah tujuh tahun beliau menjalani profesi ini. Di Atlantik Selatan Kang Trisno menangkap ikan di tengah samudera dengan  kapal berawak 20 orang. Seminggu sekali mereka mendarat di pulau membawa ikan hasil tangkapan. Ikan Atlantik Selatan ini lalu diangkut kapal pengepul ke Eropa di Atlantik Utara.


          Jadi Kang Trsino adalah nelayan internasional. Bersama Kang Trisno ada dua puluh warga  Indonesia yang bekerja di perusahaan penangkapan ikan yang sama. Kang Trisno sendiri berasal dari Sawojajar sebuah kampung tepi pantai utara di Kota Brebes-Jawa Tengah. Sebagaimana Muara Kelingi di seberangnya kampung ini terletak  di muara Sungai Pamali,  sungai yang membelah kota Brebes. Dua kampung ini dikenal sebagai kampung nelayan. Sebagian besar warganya menangkap ikan di Laut Jawa. Menariknya dua ratusan warga Sawojajar kini menjadi nelayan maupun awak kapal di  berbagai negara. Menurut Kang Trsino menjadi nelayan internasional bukan hal yang sulit. Hanya pindah lokasi dari Laut Jawa ke Samudera Atlantik. Lanjut Kang  Trisno, "syarat bekerja hanya dua. Bisa menangkap ikan dan tidak mabuk laut. Bahasa Inggris sekedarnya saja."


          Lewat tengah malam kami mendarat di Hammad International Airport. Bandara  di Dhoha-Qatar ini memeperoleh banyak pengharagaan internasional. Pada perjalanan kali ini kami lebih percaya diri. Ini merupakan persinggahan ketiga kami di bandara  ini. Pada 2018 kami menginjakkan kaki pertama disini. Saat itu kami dalam perjalanan menengok anak yang akan diwisuda di University of Manchester. Karena merupakan penerbangan perdana keluar negeri nan jauh  maka kami sedikit gamang. Apalagi terjadi delay sehingga kami sempat diinapkan beberapa jam di kota Dhoha. Sayangnya kami tidak sempat menikmati keindahan kota dan pantainya karena saat itu dinihari. Kami kemudian diangkut kembali ke bandara untuk terbang menuju Manchester Inggris. 


          Dalam suasana mengantuk dini hari kami melanjutkan perjalanan. Ketika melewati pintu boarding jam kesayanganku tertinggal. Sesampai di Manchester aku dihibur istri, anak, dan menantu. Ikhlaskan saja yang sudah hilang. Anggap saja itu shadaqah untuk Qatar. Aku mengikuti saran mereka. Saking ikhlasnya aku lupa peristiwa ini saat transit di bandara yang sama dalam perjalanan pulang ke Indonesia. Padahal bandara ini sangat rapi. Kalau ditelusuri tentu jam kesayanganku bisa ditemukan. Dua bulan kemudian anak dan menantuku pulang ke tanah air. Mereka membuat kejutan dengan memberi aku oleh-oleh sebuah jam tangan. Lebih bagus daripada  jam yang tertinggal di Bandara Hammad. Tetapi pada persinggahan tahun ini aku sudah mengikhlaskan jam tangan itu. Kalaupun ditulis disini itu sekedar sebuah kenangan perjalanan tahun yang lalu.  


          Transit di dalam bandara Hammad kali ini berjalan lancar. Turun dari pesawat kami mengikuti arus penumpang internasional menuju pemeriksaan paspor. Semua berjalan lancar. Kecuali empat kaleng Gudeg Yu Jum.  Gudeg ini sebelumnya tidak masuk ke koper bagasi kami yang sudah penuh. Sehingga masuk tas tenteng laptopku. Ketika ketahuan oleh sensor sinar X petugas memeriksa kaleng gudeg ini. Aku menjelaskan ini makanan tradisional Indonesia. Petugas  tidak bergeming. Katanya ada kandungan minyak tertentu dalam gudeg ini yang tidak diizinkan masuk. Ada-ada saja orang Qatar ini. Untungnya ada satu kaleng gudeg krecek yang ternyata masuk dalam bagasi dan selamat sampai di Trodheim. Maka nyidam makan gudeg anak kami yang sedang hamil anak kedua di Trondheim-Norwegia  pun terpenuhi.


          Suasana Bandara Hammad juga sangat nyaman. Ketika kami sampai nomor gate di display penerbangan belum lagi muncul. Kami pun  menunggu di bagian tengah bandara. Lalu lalang puluhan ribu manusia di tengah malam menunjukkan bandara ini tidak pernah tidur. Penerbangan internasional antar benua mengalir dari waktu ke waktu. Qatar memang berada di tengah tiga benua: Asia, Eropa, dan Afrika. Maka semua ragam manusia nampak berlalu lalang. Mereka mendarat dan terbang dari segala penjuru dunia. Mulai dari Asia Tenggara, Asia Timur, Eropa Utara, Afrika Selatan, bahkan juga ke Amerika Utara dan Amerika Selatan. Maka disini Jakarta terasa dekat. Terutama ketika dibandingkan dengan banyak destinasi di berbagai ujung dunia. Untuk mencapai mereka memerlukan terbang lebih dari dua kali lipat Dhoha-Jakarta.  


          Satu setengah jam sebelum terbang info pada display pun muncul. Penerbangan kami menuju Oslo melalui Gate 49.  Kamipun menuju kesana. Ia berada di sebelah taman hutan di dalam bandara. Suara alami burung terdengar bersahutan dari tengah hutan mini ini. Sungguh pengalaman yang menarik.  Para penumpang umumnya berwajah Asia Tenggara. Dari percakapan terdengar mereka orang Filipina. Lalu panggilan boardingpun berkumandang. Kami masuk antri duluan karena  berada di Zone-1. Tetapi pada display tertera nama penerbangan Clark. Ini penerbangan ke Filipina.  Bukan Qatar. Ternyata kami salah Gate. Qatar Airline  telah memindah penerbangan ke Oslo ke Gate 48. Nyaris kami menjadi korban.  Jadi harus teliti betul ketika transit. Apalagi  pada penerbangan internasional.


          Hari sudah terang ketika kami mendarat di Bandara Oslo. Udara di luar terlihat cerah. Kami tidak asing lagi dengan bandara ini. Setahun lalu kami beberapa kali menyinggahinya. Saat kedatangan dan kepulangan ke tanah air maupun saat pulang ke Norwegia sepulang dari tur ke Amsterdam dan Paris. Sebagaimana setahun yang lalu kali ini kami pun merasa nyaman ketika berada di Norwegia. Penduduknya ramah, banyak senyum, dan sangat peduli pada lingkungan. Keramahan Norwegia membuat aku merasa seakan berada di Jogja. Arsitektur Bandara Oslo ini futuristik. Sentuhan pilar kayu-kayunya yang   besar sangat menarik. Di luar bandara pesawat dengan logo SAS parkir dimana-mana. Di sekitar bandara terhampar pemandangan luas yang datar. Tidak nampak pegunungan apalagi gunung berapi. Hanya perbukitan dengan pohon-pohon cemara yang indah. 


          Aktivitas pertama kami adalah menjalani prosesi pemeriksaan imigrasi. Di depan kami nampak wajah-wajah Asia Tenggara. Tiga orang berpaspor hijau paspor Indonesia yang  sama dengan warna paspor kami. Maka kami  segera terlibat obrolan hangat. Mereka akan menuju Bergen, sebuah destinasi wisata populer di Norwegia. Dua dari mereka lelaki berasal Batam dan Bali. Satu perempuan berasal dari Bogor. Sebagaimana Abdul Sutrisno si Orang Brebes mereka adalah pekerja migran Indonesia. Mereka juga bekerja di kapal. Bedanya Kang Trisno pada kapal penangkap ikan. Tiga kenalan baru ini bekerja pada kapal pesiar. Maka mereka lebih fasih berbahasa Inggris. Sedangkan Kang Trisno cukup bermodal yes or no. Di atas itu semua selalu ada perasaan nyaman ketika  bertemu saudara se tanah air di negeri yang jauh. 


          Lima jam kemudian kami mendarat di Bandara Tronheim. Kami bertemu kembali anak, menantu, cucu, dan calon cucu  tercinta. Tentu haru biru rindu bertemu mendatangkan syahdu. Perjalanan kali ini ternyata juga mempertemukan kami dengan banyak saudara se tanah air lainnya. Mereka dalam perjalanan, menetap sementara, atau sudah menjadi diaspora Indonesia di luar negeri. Di Trondheim-Norwegia kami bertemu banyak mereka. Pada umumnya mereka kesini dalam rangka menuntutu ilmu. Setelah itu sebagian mereka pulang ke tanah air. Sebagian lagi bertahan beberapa lama di rantau. Beberapa bahkan menjadikan tanah rantau Norwegia sebagai tanah air kedua. Pertemuan dengan mereka akan menjadi  ide cerita-ceritaku selanjutnya. Insya Allaah.  



Stokkbekken 132-Trondheim Norwegia,  30 Juli 2024

Mahli Zainuddin Tago