VENESIA : Kota Tua yang Tetap Mempesona

          Trondheim, Kamis 1 Agustus 2024. Tepat pukul 06.30 kami keluar rumah di Jalan Stokkbekken 132. Ini hari terakhir kami di Norwegia setelah 23 hari mengunjungi keluarga di negeri dingin dekat Kutub Utara ini. Tetapi kami belum lagi berpisah. Mereka masih membawa kami  berkeliling sebelum kembali ke tanah air. Sungguh sebuah perjalanan  yang tidak terbayangkan sebelumnya. Eropa terlalu jauh bagi kami. Dari segi biaya hampir sama dengan ibadah haji. Dari segi jarak  mendekati dua kali perjalanan ke Tanah Haram. Tetapi taqdir Ilahi menentukan lain. Anak menantu kami berada di Norwegia dan kami kecipratan nasib baik mereka. Setahun yang lalu kami dibawa ke Belanda dan Perancis. Tetapi setelah itu kami pulang lagi ke Norwegia sebelum pulang ke tanah air. Kali ini kami dibawa ke Italia dan Swiss. Dari Swiss mereka balik ke Norwegia dan kami pulang ke tanah air. 


          Destinasi pertama kami di  Italia adalah Venesia.  Venesia ( bahasa Italia: Venezia) adalah kota tua. Kota ini didirikan oleh penduduk-penduduk dari daerah Veneto sebagai tempat perlindungan dari invasi barbar ketika Kekaisaran Romawi Barat jatuh. Republik Venesia berdiri di kota ini dari abad ke-9 hingga ke-18.  Selama Abad Pertengahan Venesia berkembang menjadi kota komersial yang penting. Venesia pernah dianeksasi oleh Napoleon Prancis. Kemudian berpindah tangan beberapa kali, menjadi bagian dari Austria dua kali, sebelum menjadi bagian dari Italia.  Kini ia ibu kota daerah Veneto dan Provinsi Venezia di Italia. Venesia adalah tujuan wisata yang sangat populer, menjadi pusat budaya utama, dan berkali-kali dinobatkan sebagai kota terindah di dunia. Kota kanal ini terkenal dengan sarana transportasi air, di antaranya adalah Gondola.


          Perjalanan pertama ke Italia bagiku memunculkan kekhawatiran tertentu. Ini juga aku alami ketika perjalanan pertama ke Perancis setahun lalu. Saat itu kerusuhan besar menyebabkan beberapa kawasan di Paris memberlakukan jam malam. Kekhawatiran di Italia lebih karena kesan umum Italia yang brangasan. Nampaknya aku terpengaruh oleh gaya sepakbola Italia. Aku juga suka menonton filem terkait Mafia seperti God Father, Irish Man, dan Good Fellas. Semua menggambarkan karakter orang Italia yang sering menyelesaikan masalah dengan kekerasan. Apalagi di Venesia kami harus menyeret empat koper berat. Dua diantaranya berisi bawaan ke tanah air. Maka ketika landing di Bandara Venesia kewaspadaanku meningkat. Apalagi ketika  turun dari bis dari bandara di terminal. Rasanya seperti berada di Terminal Pulo Gadung atau Terminal Rajabasa pada era 1980-an. 


          Tetapi suasana segera berubah ketika kami menyeberang di atas  jembatan cantik. Jembatan dipenuhi ratusan turis yang datang dan pergi. Mereka nampak berasal dari berbagai belahan dunia. Sebagian mereka juga membawa koper yang sama dengan kami. Jadi ada banyak teman senasib. Termasuk nasib mengangkat koper-koper berat melalui jembatan yang dibuat dengan banyak anak tangga. Apalagi kemudian hujan tiba-tiba turun. Segera setelah sampai di seberang kenyamanan kembali menghampiri kami. Stigma Italia sebagai negeri mafia lenyap seiring dengan banyaknya turis yang hilir mudik sambil tertawa ria. Lalu di seberang jembatan ada ruang terbuka  di bawah gedung yang membuat kami bisa rehat sejenak.  


          Segera setelah hujan redup kami melanjutkan perjuangan. Kami  menyeret koper menuju penginapan melewati halaman yang sangat luas. Di sebelah kiri adalah  Stasiun Venesia yang ramai dan sebelah kanan adalah Kanal Venesia yang terkenal. Setelah melalui beberapa restoran dimana pelanggan makan di teras depannya kami belok kiri masuk gang sempit dan sampai di penginapan. Suasananya mirip dengan gang-gang di depan Stasiun Tugu Jogja. Tetapi setelah masuk beberapa puluh meter gang ini segera menjadi luas. Di kiri kanannya  terdapat beberapa rumah, toko,  atau restoran yang di atasnya menjadi hotel atau penginapan. Aku tidak bisa membandingkan dengan suasana gang dalam kampung depan Stasiun Tugu. Aku belum pernah masuk gang-gang kampung Pasar Kembang Jogja yang terkenal itu. Walau sudah empat puluh lima tahun menjadi orang Jogja.


          Segera setelah rehat sejenak di penginapan kami mulai menjelajah Venesia. Tidak jauh-jauh. Hanya mencari makan malam dan melihat suasana. Menariknya pedagang kaki lima di Vinesia kebanyakan berwajah Asia Selatan. Mereka membuka kios-kios souvenir. Kebanyakan souvenir ini Made in China. Jadi barang Cina dijual pedagang Asia Selatan di negara nenek moyang Robert De Niro ini. Ketika aku tanya dari mana asalnya, seorang pedagang menjawab "I'am Bangladesh." Rakibuddin Hasan dan Nivu dua di antara seribu lebih orang  Banglades yang menguasai kaki lima Venezia. Rakib memiliki tiga outlet. Dia sudah tiga tahun dan Nipu baru satu tahun tinggal disini. Tetapi ayah dan paman Rakib  sudah dua puluh lima tahun menetap di  Italia. Semoga suatu saat pedagang kaki lima Indonesia, khususnya Urang Awak atau Orang Kerinci bisa merambah negeri wisata kelas dunia ini. 


          Meski sama-sama di Eropa harga-harga di Italia terasa lebih murah dibanding di Norwegia. Ini terkait tingkat kesejahteraan Norwegia yang tinggi. Boneka Pikacu untuk cucu kami seharga 15  €. Boneka yang sama di Norwegia seharga tiga kali lipatnya. Demikian juga harga makanan. Sepotong pizza disini berharga 10 Euro  dan di Norway 30 Euro. Hanya sewa penginapan  atau hotel di Venesia sebagai kota wisata terasa sama dengan di Norwegia. Meski demikian harga di Venesia tetap terasa masih mahal  bagi kami yang datang dari Jogja. Inilah resiko berasal dari negara sedang berkembang alias dari Selatan. Utara-Selatan disamping mata angin juga bermakna sosiologis. Utara adalah negeri-negeri makmur dan selatan adalah negeri kurang sejahtera. Maka ketika datang ke Utara menggunakan standar Selatan bisa tidak jadi wisata belanja. Hanya bisa wisata cuci mata. Hehehe.


          Pada hari kedua kami  kami mulai keluar jauh dari penginapan. Sebelumnya kami sarapan  pizza. Satu piring pizza adalah untuk satu orang Italia. Tetapi bagiku cukup seperetiganya saja. Perut dan badanku memang lebih kecil. Tetapi kalau makan nasi kikil di Duta Minang Jogja perutku bisa memuat tiga kali lipat. Kami keluar ke jalan utama yang ternyata sudah padat pengunjung. Ribuan orang seperti  menyerbu Venesia. Ini seperti kawasan Malioboro di musim liburan. Bedanya  Venesia tidak memiliki jalan raya. Jalan utamanya adalah kanal besar dan kecil. Moda transportasinya adalah bis air, taksi air, dan Gondola. Venezia juga memiliki banyak sekali gang. Sepanjang gang ini dipenuhi  toko, restoran, dan penginapan-hotel. Gang-gang  inilah yang  dialiri puluhan ribu turis tiada henti. Mereka datang dan pergi,  dari berbagai belahan dunia, siang dan malam.


          Untuk menuju titik yang lebih jauh kami naik bis air di di halte tepi kanal. Kanal Venesia mengingatkan pada kanal Sungai Malaka di Malaysia dan kanal Amsterdam yang terkenal itu. Turun dari bis air kami kami menyusuri gang.  Gang di Venesia mengingatkan pada gang di Kampung Kauman, Suronatan,  dan Notoprajan Jogja. Nyaman dilalui karena kendaraan bermotor dilarang lewat. Tetapi menjelajah berjalan kaki di tengah panas matahari siang membuat kami kelelahan. Maka kami singgah di sebuah kafe kecil. Pelayannya keturunan Indonesia tetapi tidak bisa berbahasa Indonesia. Dia fasih berbahasa Cina. Kami dilayani dengan ramah walau hanya memesan minuman ringan. Kami dipersilahkan  masuk ke bagian tengah kafe yang ber-AC dan bisa menggunakan toilet. Setelah pulih kami keluar gang, masuk Alun-alun San Marco dengan Gereja Katedral megah berkubah berlapis emas. 


          Tentu saja bagian yang paling menarik  di Venesia adalah naik Gondola. Gondola adalah perahu wisata  yang dijalankan pendayung yang berdiri di bagian buritannya.  Di bagian cekungan tengah perahu ini terdapat enam tempat duduk. Penjelajahan diawali dengan menyusuri kanal lebar yang diramaikan taksi dan bis air. Sehingga hempasan ombak sangat terasa. Dua ratus meter kemudian Gondola berbelok kanan masuk kanal sempit. Kanal ini merupakan sisi belakang dari gedung-gedung tua Venesia nan megah. Suasana tiba-tiba menjadi sangat tenang. Tidak ada bising sama sekali. Tidak ada suara speed boat, mesin taksi dan bis air yang bergemuruh. Juga tidak ada keramaian percakapan ribuan wisatawan yang lalu lalang. Hanya debur  ombak lembut akibat kayuhan pendayung. Lalu satu dua camar laut hinggap di tepi kanal. Maka waktu seakan berhenti. 


          Tetapi kanal sempit ini juga  terkesan kumuh. Tembok  bangunan di kiri-kanan  banyak kurang terawat. Beberapa dinding mengelupas dimakan usia. Beberapa burung bersarang di sela-sela retakan. Ditambah lagi bau kurang sedap bagian belakang rumah lama. Andai tembok-tembok ini bersih. Atau diberi sentuhan cat warna warni yang menarik. Maka penjelajahan dengan Gondola ini tentu makin memikat. Setelah dua puluh menit berbiduk kami keluar kanal  kecil dan kembali memasuki kanal besar yang padat. Kami segera diserbu hingar bingar suara bis air, taksi air, dan speedboat. Pendayung Gondola kami Mister Marco. Tahu bahwa kami dari Indonesia beliau berujar, “suatu saat saya ingin berkunjung ke negeri Kalian yang jauh tetapi  sangat indah.” Kami pun mengucapkan graci atau terima kasih pada beliau yang tinggi  besar dan sangat ramah ini. 


Bern-Swiss, 07 Agustus 2024

Mahli Zainuddin Tago