Debat Pilkada Kerinci 2024 seharusnya menjadi ruang intelektual yang mempertemukan calon pemimpin dengan harapan masyarakat, namun kenyataannya justru lebih mirip dengan seremonial politik yang hambar, kehilangan kedalaman dan substansi. Alih-alih memberikan gambaran jelas tentang bagaimana mereka akan membawa perubahan nyata bagi daerah, para calon malah terjebak dalam retorika klise yang tidak menyentuh esensi permasalahan. Di saat masyarakat Kerinci membutuhkan pemimpin yang mampu menawarkan solusi konkret terhadap tantangan zaman, debat ini malah menawarkan janji-janji kosong yang terasa sangat jauh dari realitas.
Salah satu masalah terbesar yang muncul adalah kurangnya kedalaman dalam setiap jawaban yang diberikan oleh para kandidat. Sebagai contoh, ketika mereka membahas sektor-sektor seperti pariwisata dan pertanian—dua sektor yang memang penting—tidak ada satu pun yang mengungkapkan terobosan atau inovasi yang bisa mengarah pada perubahan signifikan. Semua yang mereka katakan seakan mengulang apa yang sudah diketahui masyarakat selama bertahun-tahun tanpa menambah wawasan baru. Di tengah kebutuhan akan kebijakan berbasis data dan riset, jawaban mereka malah lebih berfokus pada pengulangan ide-ide umum yang tidak memberikan pencerahan terhadap bagaimana mereka akan mewujudkan kemajuan tersebut. Masyarakat Kerinci berhak tahu bukan hanya apa yang ingin dilakukan, tetapi bagaimana hal itu akan dicapai, dengan strategi apa, dan dalam waktu berapa lama.
Bahkan, masalah yang lebih mendasar lagi adalah absennya visi progresif yang bisa menjawab tantangan zaman. Dalam era di mana teknologi dan digitalisasi menjadi kunci perkembangan, para calon seakan tak menyadari urgensi perubahan itu. Program pemberdayaan UMKM berbasis digital, pengelolaan lingkungan yang lebih berkelanjutan, dan upaya untuk memperbaiki kualitas pendidikan seharusnya menjadi prioritas utama. Tetapi, debat ini justru terasa terperangkap dalam pandangan yang sudah usang tentang pembangunan, yang lebih banyak berfokus pada sektor-sektor konvensional tanpa mempertimbangkan potensi-potensi baru yang bisa membawa Kerinci ke level yang lebih tinggi. Jika visi mereka hanya terbatas pada slogan-slogan lama, apakah kita bisa berharap ada perubahan berarti dalam waktu dekat ?
Debat ini juga memperlihatkan bagaimana format yang ada lebih mengarah pada pertunjukan politik daripada diskusi substansial. Dengan waktu yang terbatas dan aturan yang terlalu kaku, para calon seolah-olah dipaksa untuk mengemas jawaban mereka dalam kalimat yang tergesa-gesa dan terkesan setengah matang. Padahal, debat adalah momen yang seharusnya memberi ruang bagi setiap kandidat untuk membuktikan kedalaman pemikiran mereka, untuk menggali lebih dalam tentang permasalahan yang dihadapi daerah ini. Di saat-saat seperti ini, waktu yang terbatas malah memperburuk kualitas diskusi yang ada, membuatnya semakin jauh dari harapan untuk menghasilkan pemikiran yang menggugah atau solusi yang memadai.
Bukan hanya itu, debat ini gagal menjadi alat edukasi politik yang seharusnya bisa membuka wawasan masyarakat tentang bagaimana seorang calon memandang permasalahan dan bagaimana mereka merencanakan solusi. Sebagai warga negara yang terlibat dalam proses demokrasi, masyarakat Kerinci berhak mendapat penjelasan yang lebih jelas tentang bagaimana pemimpin yang mereka pilih akan menangani isu-isu krusial seperti kemiskinan, ketimpangan sosial, atau rendahnya kualitas pendidikan dan kesehatan. Namun, yang terlihat justru adalah debat yang lebih banyak membahas hal-hal yang sudah usang tanpa memberikan jawaban yang memadai.
Pada titik ini, kita harus bertanya pada diri sendiri: Apa gunanya sebuah debat jika hanya berfungsi sebagai panggung untuk pertunjukan politik tanpa menawarkan ide yang segar atau solusi yang aplikatif? Jika yang diharapkan hanya janji-janji kosong yang terulang tanpa konkretisasi, apakah kita masih bisa percaya bahwa proses politik ini benar-benar untuk kepentingan rakyat?
Agar Pilkada Kerinci 2024 tidak sekadar menjadi ajang kontestasi politik yang kosong, para calon harus mampu menghadirkan visi yang lebih berani dan jauh ke depan. Mereka harus mampu menawarkan kebijakan yang benar-benar revolusioner dan sesuai dengan kebutuhan zaman. Jika tidak, kita akan terus terjebak dalam rutinitas politik yang tak membawa perubahan nyata bagi masyarakat Kerinci. Dalam hal ini, debat ini menunjukkan bahwa kita berada dalam sebuah dilema: semakin maju teknologi dan informasi, semakin mudah bagi politikus untuk bersembunyi di balik kata-kata manis, tanpa harus memberikan bukti nyata tentang kemampuan mereka. Dan pada akhirnya, kita sebagai masyarakat yang akan membayar harga dari kebuntuan ini.
Penulis : Ewia Putri (Mahasiswa Program studi doktor (S3) di Universitas Jambi)