Kerisjambi.id – Museum Siginjei menjadi saksi bagi kegiatan bertajuk "Museum Sebagai Pusat Interaksi Publik" yang berlangsung pada 12 Januari 2025, dimulai dari pukul 09.00 WIB hingga tengah malam. Acara ini diselenggarakan oleh komunitas BTH (Batanghari) Back To Home di bawah kolaborasi dengan Dinas Kebudayaan Jambi, Museum Siginjei, serta Himpunan Mahasiswa Arkeologi (PRAJA) Universitas Jambi. Kegiatan ini juga melibatkan berbagai komunitas seni, sosial, budaya, dan lingkungan yang ada di Jambi.(12/01)
BTH, yang juga diartikan sebagai "Back To Home," menggambarkan ajakan untuk kembali ke asal, yakni Sungai Batanghari, yang merupakan rumah bagi banyak masyarakat Jambi. Tujuan acara ini adalah untuk mengingatkan kembali masyarakat tentang pentingnya peduli terhadap lingkungan sekitar dan mengembalikan ingatan kolektif tentang warisan budaya yang ada.
Rangkaian acara yang diselenggarakan di museum ini bertujuan memperkenalkan museum sebagai pusat interaksi publik, sekaligus meningkatkan kesadaran budaya masyarakat dan memberdayakan berbagai kelompok masyarakat. Selain itu, acara ini juga dimaksudkan untuk mengembangkan museum sebagai ruang publik yang kreatif.
Pada pagi hari, acara dibuka dengan penampilan dongeng anak yang dipandu oleh Kak Tommy dan Miko, yang mengedukasi anak-anak dari sekolah dasar di sekitar Museum Siginjei. Melalui dongeng, anak-anak dikenalkan dengan koleksi museum dan diajak berkeliling untuk melihat lebih dekat benda-benda bersejarah yang ada. Acara ini bertujuan untuk menumbuhkan rasa cinta terhadap sejarah sejak usia dini.
Selanjutnya, acara berlanjut dengan talkshow bertema "Puan Bertutur" yang diselenggarakan oleh komunitas Lubuk Puan. Talkshow ini menghadirkan perempuan-perempuan ahli di bidang fotografi, teater, dan film, memberikan ruang bagi perempuan untuk berbagi pengalaman serta mendalami sejarah dan kontribusi mereka dalam masyarakat Jambi. Forum ini juga menjadi wadah untuk pemberdayaan perempuan dan saling bertukar ide serta perspektif.
Pada sore hari, talkshow utama digelar dengan tema Museum sebagai Pusat Interaksi Publik. Diskusi ini melibatkan sejumlah tokoh, antara lain:
Imron Rosyadi, Kepala Dinas Kebudayaan Jambi, yang menekankan pentingnya peran masyarakat dalam menghidupkan museum.
Irhas Pansuri Mursal, akademisi, yang menyebut museum sebagai ruang pembelajaran sejarah bagi generasi muda.
Tesa Mardian, Ketua HMI Cabang Jambi, yang mendorong generasi muda untuk lebih memahami sejarah dan budaya lokal.
Yoppy Setyantoro, Direktur Wahana Mitra Mandiri, yang membahas perspektif NGO dalam pengembangan museum sebagai ruang inklusif.
Irma Tambunan, jurnalis Kompas sekaligus perwakilan BTH, yang menjelaskan visi komunitas dalam menjadikan museum sebagai pusat aktivitas masyarakat.
Puncak acara dilanjutkan dengan Ronda Malam Museum Siginjei, sebuah tur malam pertama di museum Sumatera. Kegiatan ini dipandu oleh guide profesional dan diikuti oleh peserta dari berbagai latar belakang non-budaya, yang mengungkapkan kekaguman mereka terhadap koleksi museum. Acara ini diakhiri dengan penampilan musisi Ismet Raja Tengah Malam yang menyajikan lagu-lagu penuh makna kehidupan.
Sebagai penutup, acara dilanjutkan dengan hiburan rakyat, termasuk screening film "Batanghari Tak Pernah Ingkar Janji", stand-up tragedy oleh Abdullah (Direktur WALHI), karya sastra puisi dari seniman Borju Street dan Zander Deden, serta pertunjukan teater dari Salira Ayatusiyfa dengan judul Romanticize Our Catastrophe Vol.II. Selain itu, musisi rapper Khali Hafix dan Paman Babon turut memeriahkan acara dengan penampilan musik yang menggugah.
Acara ini menegaskan bahwa museum tidak hanya sebagai tempat penyimpanan sejarah, tetapi juga sebagai ruang yang menghubungkan berbagai kalangan masyarakat, dari generasi muda hingga komunitas seni modern. Museum Siginjei telah membuktikan dirinya sebagai pusat interaksi publik yang mengedepankan kreativitas, edukasi, dan pemberdayaan budaya.
Melalui acara ini juga, diharapkan masyarakat dapat lebih memahami pentingnya museum sebagai ruang publik yang dinamis, yang tidak hanya berfungsi sebagai penjaga memori sejarah, tetapi juga sebagai agen perubahan sosial, pendidikan, dan penguatan identitas budaya. Dengan melibatkan berbagai lapisan masyarakat, kegiatan ini berhasil memperkenalkan kembali museum sebagai tempat yang relevan untuk interaksi sosial, budaya, dan kreativitas