Membedah Kenaikan Tarif PPN 12 Persen pada 2025: Solusi Atau Beban Baru?


Maisa Zastia
Program Studi S1 Keperawatan
Fakultas Ilmu Kesehatan
Universitas Dharmas Indonesia




KerisJambi - Kebijakan pemerintah Indonesia untuk menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen pada tahun 2025 telah memicu berbagai tanggapan dari masyarakat dan pengamat ekonomi. Meski kenaikan ini hanya berlaku khusus untuk barang dan jasa mewah, wacana tersebut tetap menarik perhatian karena menyentuh prinsip dasar keadilan dalam perpajakan dan dampaknya terhadap perekonomian nasional.

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak yang dikenakan atas setiap pertambahan nilai dari barang atau jasa dalam peredarannya dari produsen ke konsumen. Menurut Wikipedia, PPN merupakan jenis pajak tidak langsung, di mana pihak yang bertanggung jawab untuk membayar pajak kepada pemerintah (penjual) dapat mengalihkan beban pajak tersebut kepada pembeli. Dengan demikian, pembeli secara tidak langsung menanggung beban PPN melalui harga barang atau jasa yang mereka beli. Di Indonesia, PPN diatur dalam Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai dan menjadi salah satu sumber penerimaan pajak utama bagi negara.

Langkah ini diumumkan oleh Presiden Prabowo Subianto pada 31 Desember 2024 di Kantor Kementerian Keuangan Jakarta. Presiden menegaskan bahwa barang dan jasa yang tergolong mewah, seperti pesawat jet pribadi, kapal pesiar, motor yacht, dan rumah dengan nilai sangat tinggi, menjadi sasaran utama kenaikan tarif ini. Dengan kata lain, kebijakan ini dirancang untuk meningkatkan kontribusi kelompok masyarakat papan atas terhadap penerimaan negara.

Sebaliknya, barang dan jasa yang menjadi kebutuhan pokok tetap dibebaskan dari PPN, seperti beras, daging, ikan, telur, jasa kesehatan, dan jasa pendidikan. Kebijakan ini tampaknya mencerminkan keberpihakan pemerintah terhadap masyarakat menengah ke bawah. Namun, sejauh mana efektivitas kebijakan ini dalam mencapai tujuannya masih menjadi bahan diskusi.

Kebijakan kenaikan PPN ini dapat dianggap sebagai langkah bijaksana yang menunjukkan keberanian pemerintah dalam menerapkan prinsip pajak berbasis kemampuan (ability to pay). Dengan menaikkan tarif PPN untuk barang dan jasa mewah, pemerintah tidak hanya meningkatkan penerimaan negara tetapi juga menciptakan pemerataan ekonomi dengan membebankan pajak lebih besar pada mereka yang memiliki daya beli tinggi. Langkah ini sangat relevan di tengah tantangan perekonomian global yang membutuhkan pembiayaan pembangunan dari sumber dalam negeri.

Namun, ada sisi lain dari kebijakan ini yang perlu diwaspadai. Peningkatan pajak pada barang mewah dapat memengaruhi sektor terkait, seperti industri properti kelas atas dan barang impor premium. Dalam situasi di mana daya saing internasional sangat penting, kebijakan ini mungkin menimbulkan risiko migrasi kekayaan ke luar negeri, terutama jika konsumen kelas atas merasa terbebani. Selain itu, persepsi publik tentang "kemewahan" juga bisa menjadi perdebatan, mengingat definisi ini cenderung subjektif.

Kebijakan ini pun harus mempertimbangkan aspek kepercayaan publik. Masyarakat akan cenderung mendukung kebijakan yang mereka anggap adil, tetapi resistensi akan muncul jika kebijakan ini dipandang diskriminatif atau tidak memberikan manfaat yang seimbang. Oleh karena itu, transparansi dalam pelaksanaan kebijakan dan penggunaan hasil penerimaan pajak sangatlah penting.Dampak yang diharapkan yaitu :

1. Peningkatan Penerimaan Negara Kenaikan tarif PPN untuk barang mewah jelas akan meningkatkan penerimaan pajak. Namun, apakah pendapatan tambahan ini cukup signifikan untuk mendanai program-program pembangunan masih menjadi pertanyaan. Sebuah kebijakan yang menargetkan kelompok kecil dengan daya beli tinggi perlu diimbangi dengan efektivitas alokasi pendapatan negara.

2. Efek Redistribusi Prinsip redistribusi pendapatan menjadi inti kebijakan ini. Dengan memberlakukan tarif yang lebih tinggi untuk barang mewah, pemerintah berupaya mengurangi kesenjangan ekonomi. Meski demikian, dampak redistribusi ini baru akan terlihat nyata jika hasil dari kebijakan tersebut benar-benar dialokasikan untuk program-program sosial yang bermanfaat bagi masyarakat luas.

3. Pengaruh terhadap Konsumsi dan Industri Konsumen barang mewah umumnya memiliki elastisitas permintaan yang rendah terhadap perubahan harga. Namun, kenaikan tarif PPN dapat mendorong mereka mencari alternatif di luar negeri, seperti membeli barang mewah di negara dengan tarif pajak yang lebih rendah. Hal ini berpotensi melemahkan industri domestik yang bergantung pada pasar barang mewah.

4. Inflasi dan Kebutuhan Pokok Karena kenaikan tarif ini hanya berlaku untuk barang mewah, dampaknya terhadap inflasi umum diperkirakan minimal. Barang kebutuhan pokok tetap bebas dari PPN, menjaga stabilitas harga dan daya beli masyarakat luas. Kebijakan ini menjadi penyeimbang penting yang memastikan mayoritas masyarakat tidak terdampak secara langsung.

Masyarakat akan mendukung kebijakan ini jika pemerintah dapat menunjukkan bahwa dana hasil kenaikan pajak digunakan secara transparan dan akuntabel. Program stimulus yang telah diumumkan, seperti bantuan pangan, diskon listrik, insentif pajak bagi pekerja, dan pembebasan PPh bagi UMKM, adalah langkah awal yang baik. Namun, pelaksanaannya harus diawasi secara ketat untuk memastikan bahwa manfaatnya benar-benar dirasakan oleh masyarakat yang membutuhkan.

Selain itu, komunikasi yang jelas mengenai tujuan dan manfaat kebijakan ini sangat penting untuk menjaga kepercayaan publik. Pemerintah perlu menjelaskan bagaimana kebijakan ini mendukung visi jangka panjang pembangunan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.

Kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen untuk barang dan jasa mewah pada tahun 2025 adalah kebijakan yang penuh dengan peluang dan tantangan. Di satu sisi, kebijakan ini mencerminkan komitmen pemerintah untuk menciptakan keadilan sosial melalui redistribusi pajak. Namun, di sisi lain, potensi dampak negatif terhadap sektor barang mewah dan persepsi publik terhadap efektivitas kebijakan ini tidak boleh diabaikan.

Sebagai penulis, saya berharap kebijakan kenaikan tarif PPN ini dapat menjadi langkah strategis yang tidak hanya meningkatkan penerimaan negara tetapi juga memperkuat prinsip keadilan sosial dalam sistem perpajakan. Dengan memberlakukan tarif lebih tinggi pada barang dan jasa mewah, kebijakan ini diharapkan mampu mempersempit kesenjangan ekonomi di masyarakat, asalkan hasil penerimaan pajak tersebut dialokasikan dengan tepat untuk program-program yang mendukung kesejahteraan rakyat banyak.

Saya juga berharap pemerintah dapat melaksanakan kebijakan ini dengan transparansi yang tinggi, sehingga masyarakat dapat melihat manfaat langsung dari kontribusi pajak mereka. Kepercayaan publik adalah fondasi utama bagi keberhasilan kebijakan apa pun. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah untuk terus melibatkan masyarakat dalam dialog terbuka, menjelaskan tujuan dan dampak dari kebijakan ini secara gamblang, serta memastikan bahwa kelompok yang paling rentan tetap terlindungi.

Di tengah tantangan global yang semakin kompleks, saya berharap kebijakan ini dapat menjadi salah satu solusi nyata untuk mendukung pembangunan ekonomi yang inklusif, berkelanjutan, dan berkeadilan. Dengan pengawasan yang tepat dan komitmen yang kuat, Indonesia dapat membuktikan bahwa keberanian dalam menerapkan kebijakan perpajakan yang progresif dapat memberikan manfaat besar bagi seluruh lapisan masyarakat.