Tatib Kontroversial: DPR Kebablasan?

 



Penulis: Adam Deyant Biharu (Mahasiswa Hukum)


Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) membuat keputusan yang menjadi sorotan publik melalui pengesahan revisi Peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib DPR. 


Poin krusial dalam perubahan tersebut yakni keberadaan Pasal 228A, kententuan yang mengatur prosedur evaluasi berkala pejabat negara yang penetapannya dilakukan melalui forum paripurna DPR. 


Keberadaan pasal ini menjadi kontroversial, karena dianggap mengancam independensi lembaga negara. 


Dikhawatirkan terjadi penyalahgunaan yang sifatnya politis untuk mencopot pimpinan lembaga negara tertentu secara tidak proporsional.


Merujuk pada teori stufenbau (hirarki norma hukum) yang diperkenalkan oleh Hans Kelsen, dapat dilihat keberadaan Tata Tertib DPR sebagai aturan hukum yang berlaku dan mengikat secara internal. 


Peraturan tersebut tidak mengikat lembaga negara lain, termasuk lembaga yang pimpinannya ditetapkan melalui forum paripurna DPR. 


Sebagai contoh, Mahkamah Konstitusi misalnya, meskipun tiga orang hakimnya dipilih oleh DPR, namun lembaga megara ini memiliki payung hukum tersendiri (lex specialis) yang mengatur eksistensi lembaga tersebut. 


Bahkan undang-undang tersebut sudah mengatur mengenai prosedur pemberhentian hakim Mahkamah Konstitusi. 


Oleh karena itu, keberadaan Tata Tertib DPR tidak relevan dalam konteks pemberhentian atau pencopotan hakim Mahkamah Konstitusi.


Tata tertib DPR merupakan norma hukum yang kedudukannya lebih rendah dari undang-undang, sehingga tidak memiliki kekuatan mengikat secara universal. 


Sedangkan menurut Montesquieu dalam teori pemisahan kekuasaan atau yang dikenal dengan istilah Trias Politica, yang kemudian membagi kekuasaan menjadi tiga cabang utama, yaitu kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. 


Dalam konsep ini, maka DPR menjadi bagian kekuasaan legislatif dengan kewenangan melakukan pengawasan terhadap lembaga eksekutif sebagai perwujudan mekanisme check and balance. 


Namun, kewenangan DPR tidak mencakup pada proses memberhentikan pejabat dalam lingkup eksekutif. 


Sebagai contoh, walaupun DPR berperan dalam proses fit and proper test terhadap calon Kapolri, bukan berarti DPR dapat serta-merta mencopot Kapolri.


Ini dikarenakan Kapolri merupakan bagian kekuasaan eksekutif, di bawah otoritas Presiden.


Dengan demikian, apabila DPR memerintahkan atau merekomendasikan pencopotan jabatan Kapolri, maka itu merupakan kewenangan yang mencampuri hak prerogratif Presiden. 


Tindakan seperti ini bertentangan dengan prinsip pembagian kekuasaaan dan berdampak terhadap independensi sebuah lembaga negara.


Hal ini berpotensi menimbulkan konflik kelembagaan, tumpang tindih kewenangan, dan melemahkan mekanisme check and balance sebagai fondasi demokrasi.


DPR sebagai lembaga legislatif berfungsi melakukan pengawasan jalannya roda pemerintahan.


Meskipun DPR berperan pada tahap awal, seperti melakukan uji kelayakan (fit and proper test), ini guna memastikan terpenuhinya standar profesionalitas dan integritas.


Namun, dalam konteks pemberhentian atau pencopotan pimpinan suatu institusi atau organ negara, maka dikembalikan pada mekanisme dan prosedur yang termaktub dalam undang-undang lembaga negara tersebut.


Oleh karena itu, penulis menyarankan aturan tersebut untuk dikaji kembali guna memastikan relevansinya. Adapun terhadap muatan materi Pasal 228A, mesti diajukan uji materi di hadapan Mahkamah Agung untuk memastikannya selaras dengan produk undang-undang.

Nb: Opini Sepenuhnya Tanggung Jawab Penulis.